Mengelola Rasa Empati
Setelah
lama galau ingin menulis tentang apa, akhirnya saya memilih tema ‘empati’
yang bagi banyak orang dirasa begitu dibutuhkan, tapi bagi saya terkadang
terasa merepotkan.
Sebelumnya,
saya bukan sepercaya diri itu sehingga saya menyebut diri saya orang yang mudah
berempati. Beberapa teman yang setiap hari
bergaul bersama saya yang mengatakan hal tersebut. Kata mereka, saya
yang mudah menangis karena hal-hal kecil adalah alasannya.
Lalu,
saya mencari tahu lebih lanjut tentang empati. Kemudian, dari hasil baca dan
menonton beberapa video, saya simpulkan bahwa empati ialah perasaan bisa
merasakan perasaan orang lain, benda, hewan, dan makhluk lain.
Kemudian,
saya nonton video dari salah satu channel youtube favorit saya, yaitu Vice
Indonesia. Di sana saya melihat banyak orang dengan tingkat empati yang
tinggi terhadap banyak hal. Bukan hanya orang lain, tetapi benda-benda di
sekitar mereka. Kalau ada hewan sakit, mereka ikut merasa sakit dan sebagainya.
Lalu, saya berkaca kepada diri saya. Saya tidak berani membunuh ulat kecil
karena kasihan dan pasti sakit kalau dia dibunuh, padahal dia mengganggu.
Begitupun juga dengan semut, yang enggak sengaja kena setrika dan langsung
mati, kemudian saya merasa amat berdosa. Lagi, kaki saya menabrak pintu atau
kursi, atau benda lain, yang saya elus dan saya ajak bicara ‘kamu enggak
apa-apa kan ya..’ adalah benda yang saya tabrak.
Setelah
saya pikir lagi, kok sepertinya saya terlalu berlebihan dalam mengelola rasa
empati saya. Saya menjadi orang yang perasaannya mudah sekali terpengaruh
terhadap orang lain. Selalu jadi orang yang paling lama nangisnya setiap ada
orang yang ditinggalkan, ngerasain di posisi orang yang ‘sakit’ padahal saya
baik-baik saja. So negative, right?
Dan
lagi, aku gampang sekali menjadi bahagia melihat orang lain bahagia. Kayak, I
can not feel what exactly my feeling is. Lebay lagi yaaa. Hihihi.
Tapi
gini, setelah saya tahu tentang empati, saya semakin sadar bahwa segala sesuatu
harus sesuai dengan kadarnya. Begitupun dengan rasa empati. Sewajarnya saja,
jangan sampai rasa empati itu mengontrol keseluruhan emosi yang ada di diri
kita. Empati adalah bagian dari emosi yang seharusnya kita kontrol. Kita bisa
batasi kadarnya dan batasi waktunya.
Ini,
saya cerita lagi ya. Entah ini namanya apa, apakah empati kepada diri sendiri,
atau bagaimana. Saya sering tiba-tiba merasa sedih sekali atas kesedihan yang
sudah saya lewati dan sudah saya akhiri. Padahal seharusnya, yang sudah berlalu
biarkanlah berlalu. Tapi, saya tidak sepragmatis itu. Wew!
Mungkin,
ada yang merasa seperti ini juga? Bagaimanakah sebaiknya kita mengelola rasa
empati yang semacam ini?
Kalau
saya ya, saya sering dialog kepada diri saya sendiri, setiap dini hari (karena
saya susah tidur di dini hari) untuk menjadi kuat, dan independen dalam banyak
hal, termasuk mengontrol emosi yang di dalamnya ada rasa empati.
Kemudian,
banyak berdoa dong semoga menjadi pribadi yang baik sehingga ditempatkan di
lingkungan yang baik pula, bertemu dengan orang-orang yang baik. Aamiin.
Saya
juga memfilter segala hal yang kiranya bisa mendistract saya dan
menimbulkan empati yang berlebihan itu di diri saya. Lagu, saya berusaha
mendengarkan lagu yang memberi impact positif to myself. Film,
saya cenderung suka nonton film aksi supaya saya strong kayak tokohnya. Heuheu.
Buku, saya membaca buku yang bisa membuat diri saya berkembang, seperti self
motivation, pain healing, dan al-Qur’an yang paling ampuh.
Dalam
kehidupan sehari-hari, saya berusaha sekadarnya dan sewajarnya terhadap
siapapun dan apa yang mereka alami. ‘Saya tidak terlibat dalam hidup mereka,
dalam kesedihan mereka, mereka baik-baik saja dan pasti bisa melalui kesedihan
itu tanpa adanya rasa empati ini.’ Sudah.
Sudah,
saya legaaaa sekali akhirnya bisa menulis ini. Terimakasih sudah membaca sampai
bagia epilog ini. Semoga ada manfaatnya. Doakan saya rutin menulis yaaa
(walaupun isinya curhat. Hihi)
Komentar
Posting Komentar