Bahagia Terlebih Dahulu atau Menikah Terlebih Dahulu?


Tulisan ini ketrigger sama video yang aku tonton di yutub (sengaja ditulis demikian hehe) tentang menikah tua vs menikah muda.

Dalam video itu, kita disuguhkan tayangan mengenai pandangan orang-orang yang menikah muda (usia 20-22) dan orang-orang yang menikah di usia tua (29-32). Berarti saat menulis tulisan ini aku masih aman lah yaa. Ehehe.

Berbagai alasan yang mereka kemukakan kenapa menikah pada usia tersebut, seperti factor lingkungan, perasaan mampu menafkahi, tidak ingin hidup sendiri, bagiku adalah alasan yang masuk akal dan sah untuk kemudian memutuskan untuk menikah.

Plus minus kehidupan yang dirasakanpun terdengar menarik di telingaku. Seperti, orang-orang yang menikah muda menjadi lebih terbatas bergaul dengan komunitasnya, tapi bisa memiliki anak pada usia yang muda sehingga bisa semaksimal mungkin menafkahi anak, belum terlalu tua ketika anak sudah besar sehingga bisa mengerti dengan dunia anak.

Nah, bagi orang-orang yang menikah di usia yang lebih matang, mereka berkesempatan untuk berkarir terlebih dahulu, bersosialisasi secara ‘bebas’ lebih lama, dan mencapai tujuan hidup mereka terlebih dahulu sehingga lebih settle nanti ketika berkeluarga.

Sayangnya, bagi orang-orang yang menikah muda, pada awal pernikahan, sebagian di antara mereka dihadapkan pada keadaan ekonomi yang belum stabil, dan kedewasaan emosi yang belum baik. Sedangkan, bagi mereka yang memutuskan untuk menikah tua, masalah kesehatan bisa jadi adalah problema utama.
***
Terlepas dari opini bersudut pandang ganda di atas, yang terpenting ialah kita harus menikah karena bahagia. It means, kita harus menemukan bahagia terlebih dahulu sebelum menikah.

Ehm, menikah ialah komitmen sakral dan suci yang harapannya dilaksanakan sekali seumur hidup. Orang yang kita nikahipun akan kita jadikan partner beribadah seumur hidup. Partner bercanda berbagi suka dan duka. Jadi, bahagia ialah hal penting yang harus kita temukan pada calon pasangan sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Hidup di dunia ini, sebagai hamba, kita harus jadi bermanfaat, tapi tujuan kita hidup tetap menjadi bahagia, bukan? Bahagia bersama the one and only sampai tua, sampai jadi debu juga termasuk tujuan yakan.

Jadi, pastikan dulu bahagia kita, bersama seseorang yang tersebut. 

Nah, indikator bahagia seperti apa?

Beda-beda untuk setiap orang.

Kalau saya, bahagia itu adalah ketika disayangi apa adanya. Ya kan manusia ada lebih dan kurangnya, ada baik dan buruknya. Bahagia itu ketika menemukan orang yang sudah tahu buruknya seperti apa tapi tetap bertahan. Bukan membiarkan, tapi diberi arahan, dengan kasih dan sayang. Lagi, bahagia itu ketika bisa menertawakan banyak hal bersama-sama. Nanti, ketika tua, yang bisa kita lakukan hanyalah ngobrol dan bercanda. Tertawa adalah bahagia abadi yang seyogyanya bisa dibagi dengan pasangan hidup.

Bahagia bukan serta merta tentang kecukupan materi, kenampakan fisik, atau status sosial di masyarakat. Bahagia adalah perihal hati yang dibadikan melalui proses saling mengerti, memahami, menerima, merindukan, memperbaiki dan mau belajar.

Bahagia seyogyanya juga diciptakan dari dua orang yang berkomitmen. Selama ini, sistem patriarki di masyarakat menitikberatkan perempuan untuk menjadi ‘pembahagia’ laki-laki. Padahal, yang butuh perempuan juga butuh dibahagiakan. Allaah sudah berfirman untuk memuliakan wanita, dan diperkuat dengan petuah para ulama bahwa kebahagiaan isteri akan membawa rejeki bagi suami. Perempuan juga merupakan madrasah pertama bagi anaknya, bahkan sebelum mengandung, sehingga bahagia adalah sebuah hal yang wajib ada dalam kehidupan perempuan. Tidak ada lagi bukan, alasan untuk menitikberatkan kebahagiaan pada gender tertentu?

Karena proses bahagia ialah sebuah simbiosis, membutuhkan makhluk lain, wajar saja jika dalam prosesnya, waktu yang kita butuhkan berbeda. Ada yang sebentar sudah menemukan bahagia itu, ada yang butuh waktu lebih lama untuk yakin bahwa kebahagiaan sudah ditemukan. Nanti, kalau bahagia sudah ditemukan, jangan biarkan ia hilang ya. Genggam erat dan rawat dengan tepat. Yang sudah menemukan bahagia, semoga tetap terjaga, yang belum, semoga segera bersua. 

Terimakasih yang sudah membaca hingga titik terakhir. BarakAllah.

Komentar