Refleksi Tahun Ajaran Baru 2019/2020

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kutipan di atas merupakan UU no 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Dari kutipan di atas, lalu saya berpikir, bagaimana seorang guru bisa mewujudkan tujuan yang sebegitu tinggi? Kapasitas seperti apa yang harus dimiliki seorang guru untuk membentuk anak-anak bangsa menjadi insan kamil sesuai amanat undang-undang? “ambil es teh, setelahnya diminum, lalu ambil baju dari jemuran untuk disetrika (nggak nyambung sih, but I did those all thing while thinking). Dalam benak saya, terbayang ing ngarsa sing tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Pasti sudah tahu dong ya artinya apa. Oke. Selesai. Tapi, muncul masalah lain. Oh men, ini kan 2019. Kurikulumnya aja udah direvisi, bagaimana bisa menerapkan konsep yang sesepuh itu sekarang? Saya berpikir lagi. Tiba-tiba saya ingat tentang pendidikan penguatan karakter: religius, nasionalis, gotong-royong, integritas, mandiri. Nah ketemu. Penerapan konsep Ki Hajar Dewantoro dan PPK itu nyambung lho. Maksud saya, as a teacher, kita bisa menjadi contoh, menebarkan energi positif, dan memotivasi anak-anak dengan menanamkan karakter yang diamanatkan pemerintah dalam kehidupan di lingkungan sekolah pada umumnya, dan pada saat tatap muka di kelas. Oh, lebih dari menanamkan pemahaman, kita juga sebisa mungkin membiasakan peserta didik melakukan hal-hal yang mendekatkan dirinya kepada Tuhannya (bukan sekadar berdoa, tapi implementasi dari doa: menyayangi sesama, berbuat baik kepada sesama, menjadi teman yang mau mengerti dan berbagi) sebagai penerapan karakter religius. Pun dengan karakter lainnya. Kenapa harus dengan penerapan? Karena “penerapan” akan membentuk budaya belajar berpusat pada siswa yang kerap kali kita dengan di masa ini. Dan, dalam penerapan ini, guru harus sabar. Guru harus mengerti kondisi siswa. Pepatah “belajar di masa kecil bagaikan mengukir di atas batu, dan belajar di waktu tua bagaikan mengukir di atas air” sesuai pengalaman dan pemahaman saya bisa menjadi benar, tetapi banyak kurang tepatnya. Saya pernah mengajar di sekolah dengan atmosfer belajar yang kurang greget kalau saya bilang. Karenanya, banyak anak yang dari segi sikapnya sebenarnya no problem, tapi kan fungsi pendidikan yang kamil, menyempurnakan manusia menuntut lebih dari hanya sikap yang menjadi baik. Keilmuanpun harusnya demikian. Sesuai skripsi saya tentang teori konstruktivisme, yang dikaitkan dengan behavioristik juga *apasih, sampe skripsi, maaf ya absurd* Menurut Berliner (aku masih inget banget) bahwa proses konstruksi suatu ilmu oleh siswa itu diawali dengan drive *kayak main bulu tangkis, heuheu* lalu pemberian stimulus, respon, eliminasi respon (sekaligus konfirmasi atas respon yang tepat dan tidak tepat), dan reinforcement, apresiasi. Nah, dari proses tersebut, I think reinforment is the key. Kenapa? Karena, kemampuan anak yang unik dan kecenderungan mereka terhadap salah satu kecerdasan majemuk di suatu kelompok belajar, berbeda. Dan menurut Berliner juga, semakin baik reinforcement, maka akan semakin baik pula feedback yang akan kita dapat dari anak-anak. Saya sudah buktikan kalau ini :) So i tell you to do the same yaaa ^.^ Begitulah kurang lebih tulisan saya yang tidak jelas ini. Yang sudah membaca sampai kata ini, boleh menyampaikan pendapatnya atau kalau butuh reinforcement dari refleksi saya malam ini, dengan senang hati akan saya jawab supaya kita belajar bersama.  Pemalang, 14 Juli 2019 besok masuk sekolah hari pertama.

Komentar